Vonis Bebas Eks Kepala BKD Langkat Picu Sorotan Publik: Ikan Busuk dari Kepalanya?

BERITAPELITA.COM – Putusan bebas terhadap mantan Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kabupaten Langkat, Eka Syahputra Depari, dalam kasus dugaan korupsi perekrutan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Tahun Anggaran 2023 memicu berbagai reaksi dari publik. Dalam sidang yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Medan, Sabtu (12/7/2025), Majelis Hakim menyatakan Eka tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum.

Ketua Majelis Hakim, M. Nazir, dalam amar putusannya menilai bahwa alat bukti dan keterangan saksi yang diajukan selama persidangan tidak cukup kuat untuk membuktikan keterlibatan langsung Eka dalam praktik korupsi yang dituduhkan. Putusan ini sontak menuai kontroversi, mengingat posisi strategis Eka dalam proses perekrutan PPPK yang saat itu menjadi sorotan banyak pihak.

Sementara itu, dalam kasus yang sama, mantan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Langkat, Saiful Abdi, justru dijatuhi hukuman tiga tahun penjara. Saiful terbukti menerima suap dalam proses seleksi PPPK tersebut, dan dijerat dengan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Selain Saiful, tiga terdakwa lainnya turut divonis bersalah. Mereka masing-masing dijatuhi hukuman antara dua hingga tiga tahun penjara, dengan tuduhan terlibat aktif dalam pengaturan dan penerimaan uang dari para peserta seleksi PPPK sebagai imbalan untuk meloloskan mereka ke tahap akhir. Identitas ketiga terdakwa belum dirinci sepenuhnya oleh pengadilan karena masih menunggu salinan putusan lengkap.

Vonis bebas terhadap Eka Syahputra Depari menjadi perbincangan hangat di berbagai kalangan, baik di media sosial maupun dalam diskusi publik. Banyak yang mempertanyakan konsistensi putusan pengadilan, terutama karena terdakwa lain dalam perkara yang sama justru dijatuhi hukuman.

Beberapa pengamat hukum menilai bahwa vonis bebas ini menunjukkan lemahnya pembuktian dalam perkara korupsi, sekaligus menyoroti buruknya penegakan hukum yang seringkali tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Bahkan, tidak sedikit yang mengaitkan fenomena ini dengan pernyataan Presiden Prabowo yang menyebutkan, “Ikan busuk dari kepalanya.”

Pernyataan tersebut, yang sebelumnya dilontarkan untuk menggambarkan pentingnya pemimpin bersih dan berintegritas, kini kembali diangkat publik sebagai sindiran terhadap maraknya impunitas pejabat tinggi yang tersangkut kasus korupsi namun lolos dari jerat hukum.

Sejumlah LSM antikorupsi juga memberikan tanggapan keras terhadap putusan tersebut. Mereka menilai bahwa pembebasan Eka bisa melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap proses hukum dan pemberantasan korupsi di Indonesia, terutama di daerah yang masih kerap diwarnai jual beli jabatan.

Dalam pernyataan tertulisnya, Koalisi Masyarakat Sipil Sumatera Utara menyebut bahwa putusan ini mengirimkan pesan buruk bahwa pejabat tinggi masih bisa bebas jika memiliki jaringan kuat dan akses politik. Mereka mendesak Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung untuk melakukan telaah terhadap pertimbangan hukum dalam vonis tersebut.

Jaksa Penuntut Umum sendiri menyatakan kecewa atas vonis bebas tersebut. Mereka berencana mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung sebagai langkah hukum lanjutan. Menurut jaksa, bukti yang diajukan sudah cukup menunjukkan peran Eka dalam pengaturan proses seleksi PPPK yang sarat suap.

Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, dalam konferensi persnya, menegaskan bahwa pihaknya menghormati putusan hakim, namun tetap akan menggunakan hak hukum untuk mencari keadilan dan pembuktian secara menyeluruh. Ia juga berjanji untuk memperbaiki strategi pembuktian di tingkat kasasi.

Kasus ini menjadi gambaran bahwa pemberantasan korupsi di tingkat daerah masih menghadapi tantangan besar, baik dari sisi penegakan hukum maupun dari sisi budaya birokrasi. Ketika aktor-aktor kunci dalam sistem rekrutmen ASN bisa bebas dari jerat hukum, maka integritas pemerintahan daerah pun patut dipertanyakan.

Di sisi lain, masyarakat Langkat berharap kasus ini menjadi titik tolak perbaikan sistem perekrutan ASN ke depan. Mereka menginginkan proses yang lebih transparan, bersih dari intervensi politik, dan terbebas dari praktik suap menyuap.

Jika hukum tidak bisa menjangkau pelaku di puncak struktur birokrasi, maka pernyataan “ikan busuk dari kepalanya” tidak lagi sekadar kiasan, melainkan potret nyata dari sistem pemerintahan yang rusak dari atas. Masyarakat kini menanti apakah keadilan akan ditegakkan melalui proses hukum lanjutan atau justru kembali dikalahkan oleh kekuasaan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *