
BERITAPELITA.COM Nur Afifah Balqis pernah digadang-gadang sebagai wajah baru dalam dunia politik lokal Indonesia. Di usia muda, ia telah berhasil menempati posisi strategis sebagai Bendahara DPC Partai Demokrat Balikpapan, sebuah pencapaian yang mengundang banyak pujian. Sayangnya, harapan itu harus pupus ketika namanya muncul sebagai tersangka dalam kasus korupsi besar yang menyeret nama Bupati Penajam Paser Utara, Abdul Gafur Mas’ud.
Afifah tercatat dalam sejarah sebagai tersangka termuda yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Di usia 24 tahun, ia telah divonis 4 tahun 6 bulan penjara dan dikenai denda sebesar Rp 300 juta. Fakta ini memunculkan keprihatinan mendalam mengenai arah regenerasi politik di tanah air, terutama mengenai integritas generasi muda dalam kekuasaan.
Dalam kasus ini, Afifah tidak hanya menjadi pelengkap, melainkan terlibat aktif dalam pengelolaan aliran dana suap. Statusnya sebagai bendahara partai bukanlah sekadar formalitas. Ia diketahui turut mengatur transaksi keuangan yang terkait dengan proyek pengadaan barang dan jasa serta perizinan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Penajam Paser Utara.
Bersama dengan Abdul Gafur Mas’ud, Afifah menerima suap senilai Rp 5,7 miliar. Uang itu diterima dari sejumlah pihak swasta yang ingin memenangkan proyek-proyek strategis di kabupaten tersebut. KPK menyebut adanya bukti kuat berupa transfer uang, komunikasi, hingga pengakuan para saksi dalam persidangan.
Dalam proses penyelidikan, KPK menemukan bahwa aliran uang haram tersebut tidak hanya digunakan untuk keperluan pribadi, tetapi juga mengalir ke sejumlah kegiatan politik. Hal ini menunjukkan bahwa praktik kotor politik uang masih sangat mengakar dalam tubuh partai-partai di level daerah.
Afifah, dalam pembelaannya, sempat mengaku bahwa ia hanya menjalankan perintah dan tidak memahami secara penuh konsekuensi hukum dari tindakannya. Namun, majelis hakim menilai bahwa sebagai pejabat partai, Afifah memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk menolak serta melaporkan praktik-praktik ilegal tersebut.
Vonis yang dijatuhkan kepada Afifah menjadi peringatan keras bahwa usia muda bukan jaminan akan integritas dalam politik. Justru, keterlibatan generasi muda dalam praktik korupsi menunjukkan adanya kegagalan sistemik dalam pendidikan politik dan pembinaan kader.
Kasus ini juga menggambarkan bagaimana posisi strategis dalam partai politik dapat disalahgunakan untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Bendahara partai, yang seharusnya bertugas mengelola dana secara transparan dan akuntabel, justru menjadi pusat distribusi uang suap.
Masyarakat sempat menaruh harapan besar pada Nur Afifah Balqis sebagai simbol perubahan. Dengan latar belakang yang relatif bersih dan usia yang masih muda, ia dianggap dapat membawa angin segar dalam dunia politik yang selama ini dikenal penuh intrik. Namun, kenyataan berkata lain.
Keterlibatan Afifah menambah panjang daftar politisi muda yang gagal menjaga integritas. Ini menjadi cermin betapa pentingnya pendidikan etika politik sejak dini, serta perlunya reformasi sistemik dalam perekrutan dan pembinaan kader partai politik.
KPK dalam pernyataannya menegaskan bahwa usia dan status tidak menjadi penghalang dalam menegakkan hukum. Siapa pun yang terbukti melanggar hukum akan diproses sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hal ini menunjukkan komitmen lembaga antirasuah tersebut dalam memberantas korupsi tanpa pandang bulu.
Di tengah gempuran kasus korupsi yang melibatkan berbagai kalangan, publik kini semakin skeptis terhadap regenerasi politik. Nur Afifah Balqis, yang semula dianggap sebagai teladan, justru menjadi pengingat pahit bahwa perubahan tidak akan terjadi jika nilai-nilai moral dan integritas tidak dijadikan pondasi utama.
Para pengamat politik menilai, kasus ini seharusnya menjadi momentum bagi partai-partai politik untuk memperketat seleksi dan pengawasan terhadap kader-kader muda. Regenerasi tidak cukup hanya dengan memberi ruang kepada anak muda, tetapi juga harus disertai dengan pembinaan nilai-nilai etika dan tanggung jawab publik.
Kini, Nur Afifah Balqis menjalani masa hukumannya di balik jeruji besi. Ia bukan lagi simbol harapan, melainkan pengingat keras bahwa kekuasaan tanpa integritas hanya akan melahirkan kehancuran. Masa depannya dalam dunia politik mungkin telah hancur, namun kisahnya bisa menjadi pelajaran berharga bagi generasi muda yang ingin berkiprah dalam dunia politik secara bersih dan bermartabat.