Polemik Alih Fungsi Lahan Bekas Pasar Aksara Medan: Dari Pasar Tradisional ke Restoran Mewah

BERITAPELITA.COM – Wali Kota Medan, Bobby Nasution, dan Wakil Wali Kota, Rico Tri Putra “Bayu” Waas, kini menjadi sorotan publik terkait alih fungsi lahan bekas Pasar Aksara. Lahan yang semula diperuntukkan bagi pedagang sayur, ikan, dan dagangan basah pasca-kebakaran 2016, tiba-tiba berubah menjadi lokasi restoran mewah. Masyarakat mempertanyakan transparansi proses sewa, termasuk nilai sewa dan identitas penyewa yang diduga tidak diumumkan secara terbuka.

Plt. Kepala Dinas Pasar dan Usaha Mikro (PUD) Kota Medan, Imam Abdul Hadi, dituding menyembunyikan informasi terkait pengelolaan lahan tersebut. Padahal, sebagai aset publik, proses sewa seharusnya dilakukan secara transparan agar masyarakat dapat memantau penggunaan dana dan keputusan yang diambil pemerintah. Namun, hingga kini, detail perjanjian sewa dan pihak yang terlibat masih menjadi tanda tanya besar.

Pasar Aksara sendiri pernah mengalami kebakaran hebat pada tahun 2016, yang mengakibatkan ratusan pedagang kehilangan mata pencaharian. Saat itu, Pemerintah Kota Medan menjanjikan pembangunan kembali pasar tersebut untuk menampung pedagang tradisional. Namun, alih-alih direvitalisasi sebagai pusat perbelanjaan rakyat, lahan tersebut justru disewakan kepada pengusaha untuk mendirikan restoran mewah.

Menurut informasi yang beredar, nilai sewa lahan tersebut hanya sekitar Rp100 juta per tahun—angka yang dinilai terlalu murah untuk lokasi strategis di pusat Kota Medan. Selain itu, kontrak sewa dikabarkan berlaku selama lima tahun, sehingga total nilai sewanya mencapai Rp500 juta. Banyak pihak mempertanyakan apakah harga tersebut sudah sesuai dengan nilai pasar atau justru merugikan keuangan daerah.

Pedagang bekas Pasar Aksara merasa dikhianati karena mereka tidak pernah dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Sebagian dari mereka bahkan masih berharap dapat kembali berjualan di lokasi tersebut. “Kami sudah menunggu bertahun-tahun untuk bisa kembali berdagang di sini, tapi tiba-tiba lahannya disewakan untuk restoran. Ini tidak adil,” ujar salah seorang pedagang yang enggan disebutkan namanya.

Wakil Wali Kota Medan, Rico Tri Putra “Bayu” Waas, mendapat tekanan publik untuk memberikan penjelasan terkait polemik ini. Namun, hingga saat ini, belum ada klarifikasi resmi yang memuaskan dari pihak pemerintah kota. Masyarakat menuntut transparansi penuh, termasuk mempublikasikan dokumen perjanjian sewa dan alasan di balik keputusan mengalihfungsikan lahan tersebut.

Dugaan kolusi dan nepotisme juga mencuat, mengingat minimnya keterbukaan informasi. Beberapa kalangan menduga bahwa pengusaha yang menyewa lahan tersebut memiliki kedekatan dengan pejabat setempat. Jika benar, hal ini bisa menjadi indikasi praktik korupsi atau penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan aset publik.

Ahli tata kota dan kebijakan publik menilai bahwa alih fungsi lahan bekas Pasar Aksara merupakan kebijakan yang kontroversial. “Lahan strategis seperti ini seharusnya dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat banyak, bukan diserahkan kepada segelintir pengusaha,” ujar seorang pengamat kebijakan publik. Ia menambahkan bahwa pemerintah harus memprioritaskan kesejahteraan pedagang kecil yang menjadi tulang punggung perekonomian rakyat.

Dinas Pasar Kota Medan sejauh ini belum memberikan penjelasan rinci terkait kriteria pemilihan penyewa dan dasar penetapan harga sewa. Padahal, dalam pengelolaan aset daerah, prinsip keadilan dan akuntabilitas harus dijunjung tinggi. Jika tidak, kebijakan seperti ini berpotensi menimbulkan konflik sosial dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Koalisi masyarakat sipil dan organisasi peduli pasar tradisional mendesak pemerintah kota untuk membatalkan kontrak sewa dan mengembalikan fungsi lahan tersebut sebagai pasar rakyat. Mereka juga meminta agar dilakukan audit terhadap seluruh proses pengelolaan aset pasar di Medan untuk memastikan tidak ada penyelewengan.

Di sisi lain, pengusaha yang menyewa lahan tersebut berdalih bahwa kehadiran restoran mewah justru dapat meningkatkan nilai ekonomi kawasan. Namun, argumen ini ditolak oleh banyak pihak karena dianggap mengabaikan nasib ratusan pedagang yang bergantung pada Pasar Aksara. “Restoran mewah bisa dibangun di mana saja, tapi pasar tradisional adalah hak masyarakat kecil,” tegas seorang aktivis.

Jika pemerintah tetap bersikukuh dengan keputusannya, tidak menutup kemungkinan akan muncul gugatan hukum dari para pedagang maupun lembaga swadaya masyarakat. Kasus ini bisa menjadi ujian bagi Wali Kota Bobby Nasution dan Wakil Wali Kota Bayu Waas dalam memenuhi janji transparansi dan pemerintahan yang pro-rakyat kecil.

Masyarakat Medan pun terus memantau perkembangan kasus ini. Banyak yang berharap agar pemerintah kota segera mengambil langkah tegas untuk mengoreksi kebijakan yang dinilai tidak berpihak pada rakyat tersebut. “Kami ingin keadilan. Jangan sampai aset publik hanya dinikmati oleh segelintir orang,” kata seorang warga.

Polemik alih fungsi lahan bekas Pasar Aksara ini seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah daerah dalam mengambil kebijakan terkait aset publik. Keterbukaan, partisipasi masyarakat, dan pertimbangan sosial harus menjadi prioritas agar kebijakan yang diambil benar-benar membawa manfaat bagi seluruh lapisan masyarakat, bukan hanya pemodal besar.

Hingga saat ini, tekanan publik terhadap Pemerintah Kota Medan terus menguat. Jika tidak segera ditangani dengan bijak, kasus ini berpotensi memicu ketidakpuasan yang lebih luas dan merusak citra kepemimpinan Bobby Nasution dan Bayu Waas di mata masyarakat Sumatera Utara.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *