Pendidikan yang Kehilangan Cinta: Ketika Anak Dipermalukan Karena Kemiskinan

Beritapelita.com di masa depan yang penuh inovasi teknologi dan kemajuan pendidikan, harapan untuk hidup lebih baik seharusnya menjadi hak semua orang. Namun, kejadian memilukan yang menimpa seorang siswa kelas 4 sd swasta di jalan stm, kota medan, menjadi pengingat betapa rapuhnya sistem pendidikan kita ketika rasa empati terkikis oleh aturan.

M, bocah berusia 10 tahun, harus menerima kenyataan pahit belajar di lantai selama tiga hari. Bukan karena ia salah, tetapi karena orang tuanya menunggak pembayaran spp selama tiga bulan. Hukuman ini dilaporkan terjadi tanpa sepengetahuan orang tuanya, kamelia (38), yang akhirnya mengetahui hal itu dari anaknya.

“anak saya cerita dengan malu-malu, katanya dia duduk di lantai karena belum bayar spp,” ujar kamelia sambil menahan tangis.

Teknologi ada, namun empati hilang di era di mana tablet dan kecerdasan buatan digunakan dalam pendidikan, ironisnya, m malah belajar di lantai. Pemandangan ini menggambarkan ketimpangan sosial yang masih terjadi. Sekolah, yang seharusnya menjadi tempat perlindungan, justru menjadi saksi bisu tekanan mental bagi siswa kecil ini.

“dia bilang teman-temannya menatapnya. Saya bisa membayangkan bagaimana anak saya merasa malu dan kecil hati,” lanjut kamelia.

Perasaan malu dan rasa bersalah m adalah sesuatu yang tidak seharusnya dialami seorang anak seusianya. Aturan yang menjadi pisau bermata dua pihak sekolah berdalih bahwa tindakan tersebut merupakan bagian dari kebijakan.

Menurut wali kelas, siswa yang belum melunasi tunggakan spp tidak dapat mengikuti kegiatan belajar di meja seperti siswa lainnya. Ini dilakukan untuk memotivasi orang tua agar segera membayar.

Namun, bukankah kebijakan ini melukai hati dan semangat siswa yang tidak bersalah? “saya tidak pernah menyangka, hanya karena uang, anak saya harus dihukum seperti ini,

” ujar kamelia. Kata-kata itu seperti tamparan bagi sistem yang lebih mementingkan aturan daripada kemanusiaan.

Empati yang harus dibangkitkan kembali kisah m menggugah banyak pihak, termasuk aktivis pendidikan. Beberapa di antaranya menyebut kejadian ini sebagai “kegagalan kolektif” masyarakat dalam melindungi anak-anak.

Di masa depan, seharusnya tidak ada anak yang merasa terpinggirkan hanya karena latar belakang ekonomi.

Banyak pihak menawarkan bantuan, termasuk komunitas lokal yang ingin melunasi tunggakan spp keluarga kamelia.

“pendidikan adalah hak, bukan kemewahan,” ujar seorang donatur yang tergerak oleh kisah ini. Harapan baru di tengah kesedihan

Di tengah duka, ada harapan yang perlahan muncul. Kasus m menginspirasi diskusi nasional tentang pentingnya reformasi sistem pendidikan, khususnya di sekolah swasta. Pemerintah mulai mengevaluasi kebijakan agar kejadian serupa tidak terulang di masa depan.

Wali kelas yang menghukum m pun menyampaikan permintaan maaf.

 “kami salah dalam mengeksekusi aturan. Seharusnya kami bisa lebih bijaksana,” ujarnya. Meski permintaan maaf ini terlambat, ini menjadi langkah awal menuju perubahan.

Pelajaran berharga bagi kita semua kejadian ini tidak hanya mengguncang hati keluarga m, tetapi juga menjadi pengingat bagi masyarakat luas. Di dunia yang terus bergerak maju dengan kecanggihan teknologi, rasa empati adalah hal yang tidak boleh hilang.

Anak-anak seperti m membutuhkan dukungan, bukan hukuman.

Kisah ini mengajarkan bahwa pendidikan bukan hanya soal angka di rekening sekolah, tetapi tentang bagaimana kita membangun generasi masa depan yang penuh semangat dan percaya diri. Semoga kisah pilu ini menjadi pijakan untuk dunia pendidikan yang lebih manusiawi dan berkeadilan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *