KPU Akui Kendala Verifikasi Ijazah Peserta Pemilu: Waktu Terbatas, Kewenangan Minim

BERITAPELITA.COM – Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Mochammad Afifuddin, mengungkapkan tantangan serius yang dihadapi lembaganya dalam memverifikasi keaslian dokumen ijazah calon peserta pemilu. Dalam diskusi bertajuk “Kupas Tuntas Rencana Revisi Undang-Undang Pemilu dan Pemilihan” di kantor Bawaslu Jakarta pada Kamis (8/5), Afif mengakui keterbatasan waktu dan kewenangan menjadi kendala utama dalam proses verifikasi ini.

“Kami seringkali tidak memiliki cukup waktu dan kewenangan untuk memastikan keaslian ijazah yang diajukan peserta pemilu. Ini menjadi pekerjaan yang sangat menantang bagi kami,” ujar Afif menanggapi pertanyaan dari peserta diskusi, Bagja. Pernyataan ini mengungkap kompleksitas proses verifikasi dokumen dalam penyelenggaraan pemilu yang melibatkan ribuan calon di seluruh Indonesia.

Afif menjelaskan bahwa proses verifikasi dokumen, termasuk ijazah, harus dilakukan dalam waktu singkat mengingat padatnya tahapan pemilu. KPU seringkali dihadapkan pada situasi di mana mereka harus menyelesaikan verifikasi ribuan dokumen dalam waktu yang sangat terbatas. “Kami bekerja dengan tenggat waktu ketat sementara jumlah dokumen yang harus diperiksa sangat banyak,” tambahnya.

Selain masalah waktu, KPU juga menghadapi keterbatasan kewenangan dalam memverifikasi keaslian dokumen pendidikan. Afif menyatakan bahwa lembaganya tidak memiliki akses langsung ke database perguruan tinggi atau institusi pendidikan untuk memverifikasi keabsahan ijazah. “Kami tidak punya kewenangan untuk menyatakan suatu ijazah asli atau palsu. Itu sebenarnya menjadi domain institusi pendidikan terkait,” jelasnya.

Ketua KPU ini menekankan pentingnya kejujuran dari semua pihak yang terlibat dalam proses pemilu. Ia mencontohkan kasus-kasus dimana peserta pemilu harus jujur tidak hanya tentang latar belakang pendidikannya, tetapi juga mengenai rekam jejak hukumnya. “Integritas peserta pemilu adalah fondasi utama demokrasi kita,” tegas Afif.

Persoalan verifikasi ijazah ini menjadi semakin relevan mengingat beberapa kasus pemalsuan ijazah yang terungkap dalam pemilu-pemilu sebelumnya. Beberapa calon legislatif bahkan pernah terbukti menggunakan ijazah palsu untuk memenuhi syarat pendidikan minimal yang ditetapkan undang-undang.

Merespon keterbatasan yang diungkapkan KPU, pengamat pemilu dari Universitas Indonesia, Irfan Nur Rachman, menyarankan perlunya sistem verifikasi terintegrasi antara KPU dengan instansi terkait. “Perlu dibangun mekanisme verifikasi online yang menghubungkan KPU dengan kementerian pendidikan dan perguruan tinggi,” usulnya.

Sementara itu, anggota Bawaslu RI, Rahmat Bagja, yang hadir dalam diskusi tersebut, mengingatkan bahwa masalah verifikasi dokumen bukan hanya tanggung jawab KPU. “Ini adalah tanggung jawab bersama. Peserta pemilu harus jujur, masyarakat harus aktif mengawasi, dan penyelenggara pemilu harus transparan,” katanya.

Afif mengungkapkan bahwa KPU saat ini sedang mengupayakan berbagai langkah perbaikan, termasuk peningkatan kapasitas SDM dan pengembangan sistem informasi. Namun, ia mengakui bahwa tanpa perubahan regulasi yang memberikan KPU kewenangan lebih besar dalam verifikasi dokumen, masalah ini akan terus berulang.

Beberapa peserta diskusi mengusulkan agar proses verifikasi dokumen dilakukan lebih awal dalam tahapan pemilu. “Verifikasi seharusnya dimulai sejak pendaftaran bakal calon, bukan ketika tahapan sudah berjalan cepat,” saran seorang perwakilan dari lembaga pemantau pemilu.

Di sisi lain, masalah ini juga menyoroti pentingnya digitalisasi dokumen pendidikan di Indonesia. Pakar administrasi publik, Dr. Siti Zuhro, menilai bahwa kasus ini menunjukkan urgensi penyelesaian sistem database pendidikan nasional yang terintegrasi. “Dengan sistem yang baik, verifikasi ijazah bisa dilakukan dalam hitungan menit,” ujarnya.

Menyikapi keterbatasan yang dihadapi KPU, sejumlah organisasi masyarakat sipil menawarkan bantuan untuk melakukan pemantauan independen. “Kami siap membantu proses verifikasi dengan melibatkan relawan di daerah-daerah,” kata Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini.

Ketua KPU menuturkan bahwa lembaganya terbuka untuk segala bentuk kolaborasi yang dapat meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemilu. Namun, ia menekankan bahwa solusi permanen harus melibatkan perubahan regulasi. “Kami berharap revisi UU Pemilu bisa mengakomodir persoalan ini,” harap Afif.

Kasus ini kembali mengingatkan semua pihak tentang kompleksitas penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Selain masalah teknis seperti verifikasi dokumen, penyelenggara pemilu juga harus menghadapi tantangan politik, logistik, dan keamanan yang tidak sederhana.

Sebagai penutup, Afif menegaskan komitmen KPU untuk terus meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemilu meski dengan berbagai keterbatasan. “Kami akan bekerja maksimal dengan sumber daya yang ada, tetapi dukungan semua pihak sangat kami butuhkan,” pungkasnya. Pernyataan ini sekaligus menegaskan bahwa penyelenggaraan pemilu yang berkualitas adalah tanggung jawab bersama seluruh stakeholders demokrasi di Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *