
BERITAPELITA.COM –Suara tangis dan teriakan pilu menggema di halaman Pengadilan Militer I-02 Medan. Bukan dari pengacara yang memperjuangkan kebenaran, bukan pula dari aktivis yang menyerukan keadilan. Suara itu datang dari seorang ibu biasa, Fitriyani (52), yang berdiri dengan tubuh lunglai namun hati membara. Ia adalah ibu dari MAF, remaja 13 tahun yang meregang nyawa setelah tertembak dalam insiden tawuran pelajar di Serdang Bedagai.
Kematian MAF tak hanya meninggalkan luka mendalam bagi keluarga, tetapi juga menyisakan pertanyaan besar tentang keadilan dan tanggung jawab aparat. Dalam kasus ini, dua oknum prajurit TNI diduga kuat terlibat dalam penembakan yang menewaskan MAF. Namun, harapan keluarga untuk memperoleh keadilan tampaknya pupus saat tuntutan terhadap kedua prajurit itu dinilai terlalu ringan.
Pengadilan Militer menjatuhkan vonis 18 bulan penjara kepada satu prajurit, dan hanya satu tahun kepada rekannya. Putusan ini sontak memicu gelombang protes dari berbagai pihak, terutama keluarga korban. Fitriyani yang hadir di persidangan tak kuasa membendung tangisnya. Ia merasa sistem hukum telah mencederai rasa keadilan rakyat kecil.
“Saya ini hanya ibu rumah tangga, tapi saya tahu mana keadilan dan mana penghinaan,” teriak Fitriyani dengan suara parau. Wajahnya menunjukkan keletihan luar biasa, namun sorot matanya penuh perlawanan. Ia bukan hanya menangisi kematian anaknya, tetapi juga kecewa karena nyawa anaknya seolah tidak dihargai.
MAF adalah seorang pelajar yang masih duduk di bangku SMP. Hari itu, ia bukan pelaku utama tawuran, melainkan korban dari situasi yang lepas kendali. Menurut berbagai keterangan, MAF terkena tembakan saat berada di lokasi tawuran. Ia tidak bersenjata, tidak mengancam, dan tidak melawan. Namun sebuah peluru menembus tubuhnya, mengakhiri hidupnya yang baru saja dimulai.
Pihak keluarga merasa bahwa tindakan para oknum prajurit tidak hanya berlebihan, tapi juga melanggar prinsip kemanusiaan dan hukum militer. Apalagi, TNI selama ini dikenal dengan prinsip disiplin dan profesionalisme. Tindakan penembakan terhadap anak di bawah umur dalam situasi yang tidak mengancam nyawa dinilai sangat tidak proporsional.
Dalam proses persidangan, jaksa militer memang menyebut adanya unsur kelalaian dan pelanggaran prosedur oleh kedua prajurit. Namun, vonis akhir yang dijatuhkan justru memantik pertanyaan publik. Apakah satu tahun atau 18 bulan penjara cukup untuk membayar nyawa seorang anak?
Berbagai organisasi masyarakat sipil dan pengamat hukum turut bersuara. Mereka menilai bahwa putusan ini mencerminkan lemahnya perlindungan hukum terhadap warga sipil, terlebih anak-anak, dalam konteks tindakan kekerasan yang melibatkan aparat bersenjata. Kasus ini dianggap dapat menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum militer di Indonesia.
Fitriyani sendiri merasa perjuangannya belum selesai. Ia menyatakan akan terus mencari keadilan, sekalipun harus menempuh jalur hukum lebih tinggi atau mengadukan kasus ini ke Komnas HAM. “Anak saya itu manusia, bukan binatang. Harus ada yang bertanggung jawab secara adil,” tegasnya dalam sebuah wawancara usai persidangan.
Kekecewaan Fitriyani mewakili jeritan banyak ibu yang kehilangan anak akibat kekerasan, dan tidak mendapat keadilan yang setimpal. Dalam sistem hukum yang ideal, pelaku kekerasan harus dihukum dengan proporsional sesuai perbuatannya, apalagi jika menyangkut nyawa seseorang yang tidak bersalah.
Kasus MAF juga menunjukkan pentingnya reformasi dalam sistem peradilan militer, agar tidak lagi tertutup dan cenderung melindungi pelaku dari institusinya sendiri. Masyarakat sipil berhak mengetahui proses dan hasil persidangan, terutama jika korban adalah warga sipil.
Peristiwa ini juga harus menjadi bahan evaluasi besar bagi institusi TNI. Pendidikan dan pelatihan aparat harus ditekankan pada pendekatan humanis, bukan represif. Setiap tindakan harus berpijak pada hukum, bukan emosi atau kekuasaan semata.
Pemerintah pusat maupun Kementerian Pertahanan didesak untuk turun tangan dalam memastikan adanya peninjauan ulang atas putusan yang dianggap terlalu ringan tersebut. Kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara dipertaruhkan dalam kasus semacam ini.
Lebih dari sekadar proses hukum, kisah ini adalah tentang luka seorang ibu, tentang kemarahan masyarakat, dan tentang pentingnya menjunjung tinggi hak asasi manusia, bahkan di tengah hiruk-pikuk konflik sosial yang tak jarang terjadi di tanah air.
MAF mungkin telah pergi, namun suaranya tetap hidup dalam jeritan sang ibu. Suara yang memanggil keadilan, suara yang menolak untuk diam, dan suara yang mengingatkan kita semua: bahwa setiap nyawa, sekecil apa pun, harus dihormati.