
BERITAPELITA.COM – Komisi A DPRD Sumatera Utara (Sumut) mengungkap dugaan praktik pungutan liar (pungli) yang menimpa para guru di Kabupaten Nias Selatan. Anggota Komisi A DPRD Sumut, Berkat Laoly dari Fraksi Partai NasDem, menyatakan bahwa oknum aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan Cabang Dinas Pendidikan setempat diduga memotong tunjangan daerah terpencil yang seharusnya diterima penuh oleh guru SMA dan SMK setiap triwulan.
Dalam paripurna DPRD Sumut yang digelar baru-baru ini, Berkat Laoly secara resmi telah menyampaikan laporan ini kepada Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara. “Saya telah menyampaikan langsung keluhan para guru ini kepada pimpinan daerah dalam forum paripurna,” tegas Berkat saat dikonfirmasi pada Jumat (23/5/2025). Pernyataan ini menunjukkan keseriusan DPRD dalam menangani kasus yang merugikan tenaga pendidik ini.
Modus operandi yang digunakan oknum ASN terbilang sistematis. Para guru penerima tunjangan daerah terpencil dipaksa memberikan sebagian dana tunjangannya kepada oknum tertentu di lingkungan dinas pendidikan. Padahal, tunjangan ini seharusnya diterima penuh oleh guru sebagai kompensasi atas kesulitan mengajar di daerah terpencil dengan berbagai keterbatasan infrastruktur dan fasilitas.
Kasus ini pertama kali terungkap setelah sejumlah guru di Nias Selatan berani menyampaikan keluhannya kepada DPRD Sumut. Mereka mengaku telah lama menjadi korban praktik tidak sah ini, namun selama ini takut melapor karena ancaman dari oknum yang bersangkutan. “Banyak guru yang akhirnya memilih diam karena khawatir akan mendapat perlakuan tidak menyenangkan,” ujar seorang guru yang enggan disebutkan namanya.
DPRD Sumut melalui Komisi A yang membidangi pendidikan segera merespon laporan ini dengan melakukan verifikasi lapangan. Tim khusus dibentuk untuk mendatangi langsung sekolah-sekolah di Nias Selatan dan mewawancarai para guru korban pungli. Hasilnya, ditemukan pola yang sama dimana hampir 70% guru penerima tunjangan mengaku pernah dimintai “bagian” dari tunjangannya.
Berkat Laoly menegaskan bahwa praktik semacam ini sangat merugikan dan tidak manusiawi. “Guru-guru di daerah terpencil sudah berjuang dengan kondisi sulit, lalu masih harus berbagi tunjangan dengan oknum tidak bertanggung jawab,” ujarnya dengan nada prihatin. Ia menambahkan bahwa tunjangan ini seharusnya menjadi hak penuh guru sebagai bentuk apresiasi pemerintah atas pengabdian mereka.
Praktik pungli ini diduga telah berlangsung selama beberapa tahun terakhir. Besaran potongan yang diminta bervariasi, mulai dari 10% hingga 30% dari total tunjangan. Untuk guru dengan tunjangan Rp5-7 juta per triwulan, ini berarti kerugian mencapai Rp1,5-2 juta setiap periode pembayaran. Jumlah yang sangat berarti bagi kehidupan guru di daerah terpencil.
Dinas Pendidikan Sumatera Utara melalui Kepala Bidang Guru dan Tenaga Kependidikan, Drs. Marulitua Manurung, menyatakan akan segera melakukan investigasi internal. “Kami tidak mentolerir praktik semacam ini. Jika terbukti, oknum yang bersangkutan akan dikenai sanksi tegas sesuai peraturan,” tegasnya dalam keterangan resmi.
Kasus ini juga mendapat perhatian dari Ombudsman Perwakilan Sumatera Utara. Kepala Perwakilan Ombudsman Sumut, Riadil Akhir Lubis, menyatakan bahwa lembaganya siap menerima pengaduan lebih lanjut dari korban. “Ini termasuk maladministrasi yang merugikan hak masyarakat. Kami akan membantu proses pengaduan secara profesional,” jelas Riadil.
Di tingkat kabupaten, Bupati Nias Selatan, Hilarius Duha, mengaku terkejut dengan temuan ini. “Saya memerintahkan inspektorat untuk segera turun tangan. Tidak boleh ada praktik korupsi berkedok pungli di lingkungan pemerintahan kami,” tegasnya. Hilarius berjanji akan memberikan perlindungan kepada guru-guru yang berani melapor.
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Cabang Nias Selatan juga angkat bicara. Ketua PGRI Nias Selatan, Firdaus Zega, mendesak adanya transparansi dalam penyaluran tunjangan. “Perlu sistem yang lebih terbuka dan akuntabel agar tidak ada lagi celah untuk praktik semacam ini,” usulnya. PGRI juga akan memberikan pendampingan hukum bagi guru korban pungli.
Pakar hukum administrasi negara dari Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Mahmul Siregar, menjelaskan bahwa praktik ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. “Pemotongan tunjangan tanpa dasar hukum yang jelas termasuk penyalahgunaan wewenang dan penggelapan,” paparnya. Pelaku bisa dijerat dengan UU Tipikor dengan ancaman hukuman penjara.
Masyarakat Nias Selatan, terutama kalangan pendidik, menyambut baik pengungkapan kasus ini. Banyak guru berharap kasus ini menjadi momentum perbaikan sistem penyaluran tunjangan. “Kami hanya ingin mendapatkan hak kami secara utuh, tanpa potongan ilegal,” harap seorang guru SMK di Teluk Dalam.
DPRD Sumut berjanji akan terus memantau perkembangan kasus ini hingga tuntas. Komisi A akan memanggil pejabat terkait untuk meminta penjelasan dan memastikan ada tindakan tegas terhadap oknum terlibat. “Kami akan awasi sampai ada kejelasan dan kepastian hukum,” tegas Berkat Laoly menutup pernyataannya.
Kasus ini menjadi ujian bagi komitmen pemerintah daerah dalam memberantas praktik pungli, sekaligus ujian integritas bagi seluruh penyelenggara negara di Sumatera Utara. Masyarakat berharap kasus ini tidak berakhir sebagai wacana, tetapi benar-benar ditindaklanjuti sampai tuntas untuk memberikan keadilan bagi para guru.