
Beritapelita.com – Sebanyak 12 unit rumah yang berada di Komplek Perumahan LVRI (Legiun Veteran Republik Indonesia) di Jalan Vetpur Raya III, Tembung, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, dirobohkan oleh pihak Pengadilan Negeri (PN) Deli Serdang, Jumat (tanggal disesuaikan). Eksekusi ini dilakukan berdasarkan putusan hukum tetap yang telah dikeluarkan oleh pengadilan.
Pantauan di lokasi oleh awak media menunjukkan suasana haru dan pilu. Sebuah alat berat ekskavator yang didatangkan oleh pihak PN Deli Serdang bekerja tanpa henti merobohkan rumah-rumah warga. Debu bangunan dan puing-puing mulai menumpuk di sepanjang jalan kompleks, sementara puluhan warga hanya bisa menyaksikan kediaman mereka diratakan dengan tanah.
Beberapa warga terlihat menitikkan air mata saat rumah yang telah mereka tempati selama bertahun-tahun akhirnya dirobohkan. Tak sedikit pula yang hanya duduk diam di pinggir jalan, tak mampu berkata-kata, menatap rumah mereka yang sudah berubah menjadi puing. Perasaan sedih, kecewa, dan marah bercampur menjadi satu.
Sebelum proses eksekusi dimulai, pihak Pengadilan Negeri Deli Serdang telah memberi peringatan kepada para penghuni rumah untuk mengosongkan bangunan. Petugas memberikan waktu selama dua jam kepada warga untuk mengambil barang-barang mereka sebelum alat berat mulai bekerja. Namun, waktu yang sangat singkat itu menyulitkan warga untuk mengangkut seluruh harta benda mereka.
Menurut salah satu warga, Rosmita (48), dirinya sudah tinggal di rumah tersebut lebih dari 15 tahun. Ia merasa kecewa karena merasa tidak mendapatkan kejelasan atau bantuan dari pihak terkait. “Kami tidak tahu harus ke mana. Ini rumah satu-satunya yang kami punya,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
Kasus ini sendiri berakar dari sengketa lahan antara penghuni rumah dengan pihak penggugat yang mengklaim sebagai pemilik sah tanah tersebut. Setelah melalui proses hukum yang panjang, akhirnya pengadilan memutuskan untuk mengabulkan gugatan dan memerintahkan pengosongan rumah-rumah yang berdiri di atas lahan sengketa.
Pihak PN Deli Serdang menyatakan bahwa proses eksekusi ini telah sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. “Kami hanya menjalankan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Semua proses telah melalui tahapan sesuai hukum,” kata salah satu juru sita pengadilan saat diwawancarai di lokasi.
Meski demikian, sebagian warga merasa bahwa proses eksekusi dilakukan secara terburu-buru tanpa mempertimbangkan dampak kemanusiaan. Mereka berharap pemerintah daerah turun tangan untuk memberikan solusi atau bantuan tempat tinggal sementara. Sebab, sebagian besar dari mereka kini kehilangan tempat tinggal dan tidak tahu harus berpindah ke mana.
Beberapa anak-anak terlihat menangis saat menyaksikan rumah mereka dihancurkan. Barang-barang yang berhasil diselamatkan pun hanya sebagian kecil, seperti pakaian, tikar, dan peralatan dapur. Banyak warga yang hanya bisa membawa satu atau dua koper kecil karena tidak sempat mengevakuasi semua barang mereka.
Sementara itu, aparat kepolisian turut mengamankan proses eksekusi agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Meskipun warga sempat mengeluhkan keputusan tersebut, tidak terjadi bentrokan atau aksi perlawanan. Sebagian besar warga tetap tenang, meski dengan raut wajah yang murung dan lelah.
Menurut Ketua RT setempat, pihaknya sudah berulang kali berusaha menjembatani komunikasi antara warga dengan pihak penggugat dan pengadilan. Namun, mediasi tidak membuahkan hasil yang diharapkan. “Kami sudah mencoba mencari jalan tengah, tapi keputusan hukum tetap harus dijalankan,” ujarnya.
Eksekusi rumah di Komplek LVRI ini menambah daftar panjang persoalan sengketa lahan yang kerap terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Masalah legalitas lahan yang tidak tuntas dari awal menjadi akar utama dari konflik-konflik semacam ini.
Pemerintah daerah Kabupaten Deli Serdang diharapkan dapat segera menanggapi persoalan ini dengan memberikan pendampingan atau solusi sementara bagi warga yang menjadi korban penggusuran. Tanpa bantuan tersebut, dikhawatirkan akan muncul masalah sosial baru, seperti tunawisma dan gangguan kesehatan akibat tidak adanya tempat tinggal yang layak.
Kasus ini menjadi pelajaran penting tentang pentingnya kejelasan hukum pertanahan dan kepemilikan rumah bagi masyarakat. Tanpa dokumen yang sah dan kuat, warga selalu berada dalam posisi rawan, meski telah menempati suatu lahan selama bertahun-tahun.
Kini, pasca-eksekusi, yang tersisa hanyalah reruntuhan bangunan dan kenangan warga akan rumah mereka yang telah lama menjadi tempat berlindung. Mereka berharap pemerintah dan pihak terkait tidak menutup mata terhadap nasib mereka yang kini menggantung, tanpa kepastian tempat tinggal di masa depan.